Meski Presiden Mengaku Tak Baper Nyatanya Aparat Terus Hapus Mural Berisi Kritik

Di suatu Selasa (7/9) pagi yang cerah di Kepanjen Kidul, Blitar, tiga orang aparat desa tampak mendatangi sebuah tembok penuh mural berisi kritik kepada pemerintah di ruas Jalan Moh. Hatta, tidak jauh dari kompleks makam Bung Karno. Ketiga aparat itu sedang mengemban tugas mulia: jadi tukang cat dadakan demi membahagiakan atasannya. Sebulan terakhir, kemampuan mengecat emang jadi skill yang terpaksa dikuasai semenjak kepolisian menabuh genderang perang pada mural berisi kritik.

Acara ngecat bersama itu hanya berselang lima jam dari jadwal ziarah Presiden Joko Widodo ke makam sang proklamator sembari memantau penanganan Covid-19 di Blitar. Hanya dalam satu jam, tembok berhias tulisan menjadi merah polos. 

Dari pengakuan warga sekitar, ada satu mural bertuliskan “Kritik Dibungkam” di tembok sepanjang enam meter tersebut. Tapi, Lurah Kepanjen Kidul menolak mengaitkan penghapusan mural dengan kunjungan Jokowi.

“Kebetulan saja berbarengan dengan rencana kunjungan Pak Jokowi karena memang sudah ada sejak beberapa hari lalu. Tapi, kalau tulisan-tulisannya baru kemarin atau tadi malam,” kata Sang Lurah Dedik Setyawan kepada Kompas. Dedik mengatakan pihaknya mempercepat penghapusan mural setelah mendengar kabar kedatangan Presiden. Lah, berarti ada kaitannya dong?

“Kita mengantisipasi kedatangan beliau, Bapak Presiden, juga [agar] nyaman di Kota Blitar ini. Isinya [mural] pokoknya tidak pantas lah. Salah satunya kritikan yang tidak bertanggung jawab,” kata Dedik. Ruas jalan Moh. Hatta memang akan dilintasi rombongan Jokowi saat menuju Makam Bung Karno.

Pak Lurah satu ini bisa dibilang sopannya berlebihan. Pasalnya, Kepala Staf Kantor Kepresidenan Moeldoko sudah menyatakan bahwa Presiden Jokowi enggak pernah baper seputar mural yang mengkritik pemerintah. Meskipun keterangan Moeldoko ini banyak “tapi”-nya sih.

“Sebenarnya dari awal Presiden selalu mengatakan, dan ini lebih bersifat edukatif ya. Presiden sangat terbuka, enggak pernah pusing dengan kritik. Beliau sangat terbuka untuk diskusi. Beliau juga suka karya seni, hanya saja ini bicara akhlak,” kata Moeldoko dilansir dari Suara, 19 Agustus lalu.

“Beliau selalu menyisipkan sebuah kalimat yang indah, ‘Kita orang Timur memiliki adat, jadi kalau mengkritik sesuatu yang beradab.’ Tata krama ukuran budaya kita itu supaya dikedepankan,” tambah Moeldoko. Bravo, sungguh kata-kata yang indah, Pak. Seindah suara Bapak di lagu â€œRa Mudik Ra Popo”.

Bukan cuma lewat mulut kepala staf, penegasan Jokowi bahwa kritik lewat mural sah-sah saja juga ia ungkapkan kepada Polri, instansi yang kemarin-kemarin paling semangat melakukan inkuisisi mural. Kabareskrim Polri Agus Andrianto sendiri yang bilang, sudah mendapat instruksi dari Jokowi agar tidak memburu para seniman mural berisi kritik.

“Bapak Presiden tidak berkenan bila Polri responsif terhadap hal-hal seperti itu [memburu seniman]. Kritis pada pemerintah enggak ada persoalan. Kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran, kami pasti tindak tegas,” kata Agus, dilansir Pikiran Rakyat.

Pembaca enggak perlu bingung kenapa polisi tetap saja mendatangi seniman mural “Tuhan, Aku Lapar” di Tangerang hingga si pembuatnya tertekan, meskipun tulisannya jelas-jelas tidak berisi fitnah atau memecah belah persatuan rakyat. Jawabannya tentu saja karena para seniman belum mengikuti kaidah-kaidah kritik sopan yang pernah VICE buat dan bisa dibaca di tautan berikut ini. 

Mari galakkan semangat kritik penuh sopan santun demi menjaga perasaan pejabat.

0 Response to "Meski Presiden Mengaku Tak Baper Nyatanya Aparat Terus Hapus Mural Berisi Kritik"

Post a Comment